Ku Dengan Mu Seiringan, Kamu Dengan Dia Beriringan
Sejak awal, aku selalu berpikir “semua telah diatur
oleh Allah” hingga pada saat aku berjalan di satu jalan yang tak pernah
terpikir oleh otak manusia normal manapun masih saja tetap ku jajaki. Kadang
aku merasa lelah, kadang juga aku merasa ini belum seberapa. Bahkan tak jarang
aku berpikir bahwa jika aku bertahan lalu aku menjadi pemenang dan berakhir
bahagia. Bukan kah ini sungguh mudah dan indah. Padahal ada sebuah hati yang
tengah aku usik kedamaiannya.
Aku mengenalmu dengan ketidak sengajaan. Dari sorot
mataku yang tak sengaja menangkap gambaranmu yang begitu singkat bagai kilat.
Yang untuk beberapa waktu justru hanya aku pandang dalam beberapa pekan saja, Setelah
itu usai sudah gambarmu semakin berburam lalu hilang bak ditelan kabut
berkepanjangan selama musim hujan. Siapa dirimu pun aku sungguh tak ingin tahu.
Sewindu sudah waktu berlalu. Kamu hadir, masih
dengan suasanamu yang begitu sama dan suasanaku yang mulai berbeda. Kabut itu
menipis. Ya, menipis. Potret yang pernah aku tangkap kini kembali dapat aku
pandang. Sebersit senyum tersiat dalam hatiku. Meski bibirku tak menunjukan hal
yang membahagiakan, namun hatiku berekspresi lain. Kemudian hembusan angin
membawa pesan yang begitu lembut dan ramah, membuat detak jantungku sedikit
berdegup “ini saatnya aku tahu siapa dirimu”.
Pertemuan kemarin tak membuahkanku banyak
pengetahuan tentangmu. Kamu masih sama dan aku yang semakin berbeda. Ada debar
yang mengejutkan setiap kali muncul sepenggal nama mu dalam notif ponselku. Tak
asing lagi, apapun jenis pesan yang kau sampaika selalu berhasil membuatku
tersenyum. Aku seperti sedang berada dalam lamunan sewindu lalu yang menjadi
kenyataan dimasa kini. Ini sungguh indah.
Waktu terus berjalan, Allah menghadiahkan kedekatan
antara kamu dan aku. Ini sungguh membuatku semakin bahagia. Aku rasa kamu juga
begitu menikmati kedekatan ini. Kini, tubuh tinggi besar berkulit kuning dengan
mata coklat indah itu dapat ku pandang dengan dekat. Tawa riangnya yang selalu
akrab di telingaku sudah dapat melahirkan kerinduan dikala kami saling
berjauhan. Dekap hangatnya yang selalu membuat kenyamanan kala selimut di musim
hujan kalah tebal dengannya yang tak jarang membuatku tak terlelap. “Allah,
sungguh indah ciptaanmu yang kini sedang beriringan denganku. Izinkan aku
menikmati ini lebih lama lagi”.
Malam itu…
Kebahagianku yang ku bangun dengan usaha ku sendiri
ini seolah - olah tersentak hanya dalam satu malam. Dering telephone yang
menghiasi layar ponselku dari nomor tak dikenal membuatku takut. Berpuluh –
puluh kali nomor itu memanggilku. Tapi nyaliku menciut dan tak sedikitpun ku
sentuh panggilan itu. Sekarang aku tahu, siapa diriku dan siapa nomor yang
memanggilku. Hatiku begitu yakin dan berdebar semakin kencang. Aku sedang
berada dalam keadaan kritis, sesak bagai dihimpit dari berbagai arah, diterjang
badai di tanah safana, dengan dengung yang semakin melengking di gendang
telinga.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku marah kepada Allah,
“mengapa Kau ambil kebahagiaanku yang baru sebentar ini?” Aku merasa aku yang
sedang tersiksa. Padahal diluar lingkaran aku dan kamu, ada dia yang justru
sedang kami sakiti sampai sejauh ini. Setelah reda aku menumpahkan segala
emosiku, aku berwudhu ku panjatkan doa dalam sujud panjangku. Berharap ini
hanya mimpi ku saja. Aku tengah khilaf dan aku harus sudahi semuanya. Aku ingin
keajaiban datang padaku atas semua kesalahanku ini. Aku berharap Allah ampuni
aku. Dan kisah kami usai. Semua terasa berat memang terdengarnya, namun aku
harus bisa. Meski bukan hal mudah memendam rasa sewindu lama nya agar mimpi
biasku terwujud dan kini, kenyataan harus membentakku begitu keras.
Lagi – lagi, kamu masih sama seperti dirimu
sebelumnya dan hanya aku yang berbeda. Tetesan hangat dipipi ku masih kerap
kali mengalir kala kedua pasang mata kami saling berpandang. Aku seolah – olah
akan kehilangan mu selamanya, dan tak kan pernah melihatmu lagi. Namun, sudut
lain berkata lain pula. Kamu membuatku tenang, keyakinanmu membuat hati yang
hancur kembali utuh. Hanya dengan kalimatmu ini, “mungkin Allah sedang menguji
kita. Terkadang cinta itu memang tak harus memiliki. Aku dengan kehidupanku
saat ini, yang begitu menyayangimu juga. Langkah didepan mata tidak ada yang
tahu. Kamu entah musibah atau anugrah bagiku. Tapi perasaanku padamu begitu
adanya. Seandainya aku belum punya apa – apa tentu akan ku jatuhkan pilihan
untuk segera meminangmu.” Aku luluh, aku tersadar kembali untuk bangkit. Tak
perlu berlama – lama, karena semua ini hadiah dari Allah. Tak usah banyak
angan, karena Allah yang telah mengatur gerak gerikku selama ini bukan. Berarti
Allah telah mengatur pertemuan berikut cerita kami.
Alasanku untuk mundur telah usang. Cerita kami
semakin erat saja. Banyak kebahagiaan yang tergambar jelas, namun tak dapat ku
pungkiri jika hati ini tengah gundah dalam geming beribu kesalahan pada wanita
lain.
Dikala malam semakin larut kami masih asyik
bercengkrama menceritakan banyak hal ini dan itu. Padahal di balik tembok sana
tengah ada seorang wanita menantikan kamu pulang untuk menghangatkannya saat
angin malam mulai menyelinap masuk melalui celah pintu rumah yang kalian
bangun. Disaat aku dan kamu asyik menikmati santapan hidangan berbagai tempat
makan, disana juga ada wanita yang susah payah menghidangkan masakan untuk kamu
cicipi sepulang mu nanti yang akan mampir kedapurnya. Tapi disaat kamu sibuk
diakhir pekan dengan liburan singkat yang hangat, ada aku yang terbaring
seharian sendiri menantimu disini. Meski hanya sekedar kabar, setidaknya
mengobati kerinduan yang tengah menjadi candu.
Aku sudah terlanjur menyayangimu dengan keadaanmu.
Kamu menikmati semua perjalanan yang terlanjur dilalui. Kamu nikmati
kesalahanmu dengan begitu asyiknya. Terkadang aku berpikir “apa kamu sedang berada
dalam alam sadarmu? Atau pikiranmu sama dengan pikiranku? Apa Allah ingin aku
dan kamu bersatu? Atau hanya memberi pelajaran lagi? Apa ada hikmah dibelakang
semua ini?”
Sebenarnya aku tak sabar atas semua ketentuan Allah. Jika aku dan kamu yang kini tengah bahagia (menurutku) harus berpisah, maka aku akan meminta untuk dipisahkan sejauh mungkin. Agar rasa dan ragaku tak dapat teraba lagi oleh kehadiranmu.
Komentar
Posting Komentar